Muhaimin Iskandar |
PKBRIAU.ID, Jakarta - PANDEMI Covid-19 telah membuat kita semua, bahkan dunia, gagap. Ekonomi, sains, teknologi, bahkan agama pun tampak gagap. Covid-19 juga telah meruntuhkan nyaris seluruh sendi perekonomian. Masyarakat lapis bawah, terutama pelaku UMKM, menjadi yang paling terdampak. Setidaknya sekitar 3-4 juta orang kehilangan pekerjaan. Potensi pengangguran bahkan diprediksi mencapai sekitar 4-5 juta jiwa.
Dalam kondisi demikian, saya melihat negara dengan segala sumber daya yang dimiliki sesungguhnya telah mengambil langkah dan kebijakan guna memastikan masyarakat terlindungi secara ekonomi dan kesehatan. Berbagai skema perlindungan sosial juga telah diambil sebagai bentuk tanggung jawab negara sehingga masyarakat tidak semakin terdampak atas bencana ini.
Berkaca dari kondisi saat ini, hal yang sesungguhnya sangat penting dilakukan adalah memastikan kehadiran negara sehingga masyarakat tidak merasa sendirian. Itulah esensi tugas negara. Undang-undang secara amat gamblang mengamanatkan kewajiban melindungi segenap bangsa dan tumpah darah, serta memajukan kesejahteraan umum.
Atas dasar itulah, maka langkah-langkah fundamental dan strategis harus dilakukan agar bangsa ini tidak mengalami krisis ekonomi yang lebih dalam. Salah satu yang harus dilakukan adalah melakukan reorientasi arah politik kesejahteraan kita.
Dalam konteks pengelolaan negara, arah politik kesejahteraan terletak pada komitmen negara dalam memberikan perluasan akses, kapabilitas, serta peluang kepada seluruh warga negara dalam meningkatkan taraf hidup serta pengaturan institusional yang dapat menjamin terdistribusinya penciptaan kesejahteraan.
Dengan demikian, politik kesejahteraan berdiri di atas landasan etis bahwa seluruh produk kebijakan pemerintah, legislatif maupun partai politik harus mengemban satu pakta bahwa ia hadir untuk menyelamatkan dan menjaga tingkat kehidupan dan kesejahteraan rakyatnya. Tujuan berdirinya bangsa ini, yakni terciptanya keadilan sosial, harus membingkai seluruh arah kebijakan yang dilahirkan.
Atas dasar argumen itulah, maka politik kesejahteraan harus dimaknai sebagai instrumen kekuasaan yang menentukan pengelolaan dan redistribusi sumber daya. Politik kesejahteraan harus menjadi landas pijak yang kokoh dalam menopang serta membingkai seluruh kebijakan negara.
Di tengah masa pandemi yang belum sepenuhnya pulih, kebijakan yang berakar pada prinsip-prinsip politik kesejahteraan saya kira penting diteguhkan kembali. Artinya, politik kesejahteraan harus menjadi parameter tunggal untuk mengukur, apakah sebuah kebijakan yang dilahirkan telah meletakkan pembenaran etis dalam seluruh proses dan implementasinya. Di sinilah pentingnya memastikan institusi demokrasi bekerja untuk mewujudkan kesejahteraan.
Lantas, kebijakan ekonomi dan politik seperti apa yang bisa dilakukan sebagai wujud nyata arah baru politik kesejahteraan? Hemat saya, setidaknya ada 4 (empat) langkah fundamental yang secara politik bisa dilakukan.
Pertama, dalam jangka pendek maupun panjang, negara harus mampu menjadikan sistem jaminan sosial dalam arti yang sesungguhnya sebagai apa yang disebut dengan backbone kesejahteraan. Di tengah masa pandemi, program-program semacam perlindungan sosial tampaknya bisa menjadi solusi alternatif dalam menekan dan meminimalisasi dampak yang ditimbulkan akibat pandemi.
Kedua, komitmen politik kesejahteraan harus dimulai dengan pemenuhan hak dasar warga negara melalui pembangunan berbasis sumber daya produktif perekonomian sebagai penopang sistem jaminan sosial. Catatan utamanya, sebagai agen pembangunan negara tidak boleh hanya mendorong equality of opportunity (pemberian kesempatan yang sama) tetapi juga harus aktif menegakkan keadilan sosial.
Ketiga, prinsip utama dalam politik kesejahteraan selalu berpijak pada asas bahwa pertumbuhan ekonomi beserta hasil-hasil pembangunan yang dilahirkan harus berorientasi pada pemerataan ekonomi yang berkeadilan. Komitmen ini penting karena melalui prinsip inilah kemungkinan terjadinya malapraktik pembangunan bisa dicegah.
Keempat, menciptakan pemerintahan yang kuat dan responsif terhadap persoalan-persoalan publik. Langkah ini bisa dimulai dengan penciptaan inovasi-inovasi pelayanan publik yang tidak hanya berhenti pada standar pelayanan minimum dalam altar birokrasi negara, tetapi bergerak maju menuju apa yang disebut dengan publik servis.
Beberapa langkah fundamental di atas ingin menegaskan tentang arah baru, serta pentingnya membangun kembali politik kesejahteraan. Hal ini dimaksudkan untuk memunculkan kembali peran negara sebagai institusi yang memang bertanggung jawab melindungi rakyatnya melalui serangkaian kebijakan yang memberi nisbah dan daya hidup kepada mereka.
Sebagai salah satu wujud nyata pengejawantahan politik kesejahteraan di era pandemi, komitmen tersebut oleh negara setidaknya telah dimulai melalui pengalokasian anggaran sebagai pelapis atas dampak pandemi. Negara, misalnya, pada 2020 telah menganggarkan Rp203,3 triliun untuk perlindungan sosial bagi masyarakat yang terdampak, Rp123,46 triliun untuk sektor UMKM, serta Rp120,61 triliun bagi dunia usaha agar mampu bertahan dan tidak menimbulkan gejolak baru.
Semua hal di atas ingin menegaskan bahwa nilai strategis sebuah kebijakan yang berporos pada visi politik kesejahteraan terletak pada setidaknya 3 (tiga) hal. Pertama, ia akan mengarahkan pada sebuah strategi kebijakan yang memberi daya hidup secara proporsional terhadap pemenuhan kebutuhan rakyat. Kedua, mengarahkan pengambil kebijakan di semua level untuk menciptakan fasilitas publik yang ditujukan bagi sebagian warga yang tersisih dalam proses pembangunan. Dan ketiga, dari situlah akan lahir anggaran negara sebagai instrumen yang mampu memberi bobot keseimbangan pada neraca sosial pembangunan.
Karena itu, mewujudkan politik kesejahteraan membutuhkan kemampuan sebuah sistem politik yang bisa dengan cepat merespons tuntutan-tuntutan yang berkembang di masyarakat. Dibutuhkan sebuah institusi yang dapat mengelola kesejahteraan secara efektif.
Untuk itu, parlemen bersama pemerintah terus dan sedang berupaya melahirkan kebijakan-kebijakan yang menjadikan keadilan sosial sebagai tujuan utama dari seluruh cita-cita yang dicanangkan. Selain itu melakukan upaya-upaya politisasi dalam pengertian membangun nilai-nilai yang ada di masyarakat paralel dengan nilai-nilai yang ada dalam pemerintahan.
Dalam konteks itu semua, saya melihat bahwa sebuah arah baru politik kesejahteraan hanya bisa diwujudkan dengan cara menggerakkan bandul pendulum kebijakan yang dilahirkan baik oleh pemerintah, parlemen, bahkan partai politik, ke arah perubahan terhadap kesejahteraan hidup masyarakat. Kebijakan-kebijakan yang diproduksi harus bersinggungan langsung dengan kondisi riil masyarakat.
Problem-problem kebangsaan seperti kesenjangan, ketimpangan, kemiskinan, lapangan kerja, serta pandemi, misalnya, harus menjadi bobot utama dalam setiap neraca pembangunan yang dirumuskan. Kita harus mulai menciptakan ruang-ruang perdebatan publik dengan gagasan-gagasan cerdas demi kemaslahatan publik. Masyarakat harus benar-benar didorong untuk terlibat aktif dan berpartisipasi dalam berbagai pembuatan kebijakan publik.
Semua itu bertujuan bahwa seluruh program-program rasional yang dilahirkan baik oleh pemerintah, legislatif, maupun partai politik pada ujungnya tetap harus dihadapkan pada sebuah pertanggungjawaban etis; mengajak seluruh masyarakat mengalami mobilitas bersama mencapai kesejahteraan. Inilah sesungguhnya esensi politik kesejahteraan.
Hal penting yang harus digarisbawahi bahwa peneguhan kembali politik kesejahteraan tidak hanya diarahkan untuk menghasilkan negara yang dapat mengelola pasar bagi pertumbuhan ekonomi tetapi juga mampu melaksanakan fungsi redistribusi sember daya melalui serangkaian kebijakan sosial yang dilahirkan. Di titik itulah peneguhan visi politik kesejahteraan menemukan makna strategisnya baik dalam konsep maupun implementasinya.***