Hmi Pekanbaru – Maraknya praktek korupsi paska bergulirnya era reformasi secara spontan mengkhianati cita-cita reformasi yang sejatinya mewujudkan ‘good government’ , tapi kemudian dibajak dengan praktek demokrasi yang jauh dari substansi atau seringkali disebut sebagai ‘demokrasi kriminal’.
Demikian dikatakan JJ Rizal, Bonny Triyana, M Fadjrioel Rachman dan Herdi Sahrasad pengamat politik Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina dalam sebuah diskusi yang diadakan Madjid Politika, di Universitas Paramadina Jakarta, (15/04/2011). “Praktek-praktek korupsi telah mencari jalan legislasi yang sangat menjijikkan,” ungkapnya.
Herdi juga menilai pembangunan gedung baru DPR merupakan salah satu jenis ‘legal corruption’ yang legal secara undang-undang tapi mencederai rasa keadilan. “Saya khawatir, jika rencana pembangunan gedung DPR tidak dihentikan, gerakan mahasiswa dan civil society akan bergerak menduduki gedung parlemen,” lanjut Herdi. Sementara itu, pengamat politik Universitas Indonesia (UI) Boni Triana menilai praktek demokrasi di negeri ini telah tersandera oleh banyak kepentingan sehingga demokrasi tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. “Kita terperangkap dalam demokrasi palsu yang jauh dari keinginan rakyat,” ungkap Boni.
Sementara sejarawan JJ Rizal melihat menjamurnya praktek korupsi tak dapat dilepaskan dari akar sejarah kita yang dibangun di atas konsep feodalisme dan kolonialisme. Sehingga, menurut Jeje, korupsi di negeri ini sepertinya telah beruratakar dalam budaya negeri ini. “Menurut saya, mengurai benang kusut korupsi di negeri ini adalah pekerjaan yang tak mudah karena akar sejarah korupsi ini telah berlangsung dalam rentang waktu yang cukup panjang,” ungkapnya. Di sisi lain, aktivis senior Fazlur Rahman bahwa tujuan utama dari gerakan reformasi 1998 adalah pemberantasan korupsi dan penegakkan HAM, yang selama kekuasaan Orde Baru Soeharto korupsi dan pelanggaran HAM begitu marak. ironisnya, menurut Fazlur, tak sesenpun uang rakyat yang dikorupsi Soeharto dikembalikan pada negara. “Kami pernah mengusulkan agar undang-undang tipikor berlaku surut. Namun, hal itu digagalkan oleh fraksi Golkar dan TNI-Polri ketika itu. Sehingga, kasus-kasus korupsi sebelum tahun 1999 tidak dapat diusut,” ungkap Fazlur.